Gamer mana yang tidak bergembira, ketika sang dedengkot game horror – Shinji Mikami memutuskan untuk mengembangkan sebuah seri game horror teranyar. Di bawah bendera baru – Tango Gameworks dan Bethesda, Mikami memperkenalkan The Evil Within. Disebut-sebut sebagai reaksi atas franchise racikannya – Resident Evil yang justru kian bergeser menjadi game action daripada horror, Mikami berambisi untuk menjadikan The Evil Within sebagai sebuah standar baru sebuah game survival horror. Klaim yang tidak berlebihan tampaknya setelah rangkaian screenshot, trailer, dan demo yang dirilis selama satu tahun terakhir ini kian memperkuat alasan untuk mengantisipasi game yang satu ini. Setelah penantian yang cukup lama, kesempatan untuk menjajal game ini akhirnya tiba juga.
Kesan Pertama
Anda yang cukup mengikuti perkembangan JagatPlay tentu saja sangat mengerti, bahwa saya pribadi, bukanlah gamer yang bisa disebut sebagai “penggemar” genre horror. Mudah takut dan bahkan sempat mengalami serangan panik ketika menjajal P.T di masa lalu, ada rasa cemas tersendiri bahwa The Evil Within akan menjadi salah satu tantangan terberat untuk masuk ke dalam proses review. Dengan sedikit ekstra keberanian, berangkat dari rasa percaya diri berkat ilusi kontrol yang hadir lewat ketersediaan senjata dan kesempatan untuk melawan balik, kami pun menjajal game ini di Playstation 4. Kesan pertama yang ditawarkan dari sekitar 3-4 jam permainan? The Evil Within tidak seseram yang selama ini diklaim atau dibayangkan.
Atmosfer yang dibangun memang cukup untuk membuat bulu kuduk Anda merinding. Kita tidak hanya membicarakan para monster dengan desain menyeramkan, tetapi bagaimama Mikami terlihat tidak menahan diri untuk mengeksploitasi brutalitas, darah, dan kematian ke dalam game yang satu ini. Namun semenyeramkan game-game horror seperti Outlast atau P.T? Sayangnya, tidak. Hanya dalam waktu singkat, ketika Anda mulai “menabung” resource senjata, dari shotgun hingga panah peledak, tidak ada lagi musuh yang cukup ditakuti dan membuat Anda gugup. Kematian memang menjadi sesuatu yang pasti terjadi, namun tumbuh menjadi bagian dari proses trial dan error. Berita buruknya? Sistem checkpoint yang disematkan terasa cukup menyebalkan.
Berita yang lebih buruk juga hadir untuk Anda yang mungkin cukup peduli dengan kualitas visualisasi sebuah game untuk dapat dinikmati. Menggunakan engine yang sama dengan Wolfenstein: The New Order, implementasi id Tech 5 di The Evil Within juga tidak terlihat begitu maksimal. Tekstur yang di-load perlahan ketika Anda memasuki lokasi tertentu, tekstur resolusi rendah, dan framerate yang masih sering naik turun menjadi catatan tersendiri. Berita paling buruk? Game ini hadir dengan resolusi gambar “aneh”, yang akhirnya memaksa Anda untuk bermain dengan dua buah bar hitam di bagian atas dan bawah layar televisi Anda. Hal ini mungkin tidak masalah untuk Anda yang bermain dengan layar televisi cukup besar. Namun untuk Anda yang harus berkutat dengan televisi definisi tinggi yang kecil, ini jadi mimpi buruk tersendiri. Ada harapan Bethesda atau Tango Gameworks akan mengeluarkan patch yang memungkinkan gamer konsol untuk menon-aktifkannya.
It’s annoying as *piiip*..
Sembari menunggu waktu yang lebih proporsional untuk melakukan review, izinkan kami melemparkan segudang screenshot “segar” di bawah ini untuk membantu Anda mendapatkan sedikit gambaran apa yang sebenarnya ditawarkan oleh The Evil Within ini. Apakah impresi kami akan berubah seiring dengan progress permainan? Ataukah The Evil Within akan bertahan sebagai game survival horror yang memang tidak terlalu menakutkan?
Next week then..
PS: Klik Gambar untuk Memperbesar!