Quantcast
Channel: Games – Jagat Review
Viewing all articles
Browse latest Browse all 14784

GameFight: Destiny vs Borderlands The Pre-Sequel

$
0
0
destiny-vs-borderlands-the-

destiny-vs-borderlands-the-

destiny-vs-borderlands-the- Di tengah perkembangan industri yang kian cepat, bertahan dengan satu genre game dan berusaha menjual produk dari sana tampaknya menjadi sesuatu yang kian mustahil. Banyak developer yang akhirnya terdorong untuk mencari inovasi baru dengan misi utama, menjadikan game yang mereka racik berbeda, unik, namun tetap pantas dinikmati di saat yang sama. Salah satu formula yang berhasil adalah Borderlands, sebuah game hybrid FPS – RPG dalam kadar proporsional yang dikembangkan oleh Gearbox Sofware. Kesempatan untuk menciptakan karakter yang lebih personal lewat segudang loot yang bisa didapatkan dan diseleksi, mekanik gameplay yang cukup kompleks, dan karakter ikonik yang ia usung membuat Borderlands tumbuh menjadi franchise raksasa yang cukup populer. Namun bukan hanya Borderlands yang hadir dengan konsep seperti ini. Game terbaru racikan Bungie Studios selepas dari Halo – Destiny juga berusaha menawarkan hal yang sama. Namun ada satu hal yang membuat Destiny berbeda, bahwa ia mendefinisikan posisinya tidak sebagai sebuah game FPS RPG, tetapi “Shared World Shooter”. Terlalu kecil dan terbatas untuk disebut sebagai MMO, namun menjadikan multiplayer sebagai basis utama untuk menikmati game ini secara maksimal. Dengan sepak terjang Bungie Studios selama ini, tidak heran jika antisipasi terhadap Destiny begitu kuat. Apalagi sang publisher – Activision diklaim menyiapkan dana sekitar USD 500 juta untuk memastikan game ini sukses di pasaran, menjadikan Destiny sebagai proyek game termahal sepanjang masa. Namun ada satu hal yang menjadikan Destiny dan Borderlands sama, di luar mekanik dasar yang mengintegrasikan elemen RPG tentunya, bahwa keduanya menjadikan multiplayer sebagai syarat utama untuk “memanen” pengalaman yang ada secara optimal. Berangkat dari persamaan sifat, genre, dan identitas yang serupa inilah, menjadi hal yang rasional untuk membawa kedua game ini untuk masuk ke dalam arena pertempuran ikonik JagatPlay – GameFight. Siapakah yang akan tampil sebagai yang terbaik? Kami akan meniliknya elemen per elemen, apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan setiap darinya.

Plot

Destiny_20140912234048 Borderlands pre sequel jagatplay (169)
Tanpa perlu membahas elemen ini lebih jauh, sebagian besar dari Anda tentu saja sudah bisa menerka siapa yang akan memenangkan bagian elemen yang satu ini. Bungie Studios mungkin sudah teruji berhasil melahirkan sebuah cerita dan dunia kompleks di seri Halo, yang tersusun begitu indah dan menarik untuk dinikmati. Tidak heran jika banyak yang berharap mereka mampu membangun hal yang sama di Destiny. Namun apa yang kita dapatkan? Kekecewaan besar. Berangkat dari satu chapter ke chapter lainnya, tanpa ada narasi atau cut-scene yang memadai untuk menjelaskan kepada Anda apa yang tengah terjadi, Destiny gagal total di elemen yang satu ini. Sementara di Pre-Sequel, ia menawarkan susunan cerita yang cukup baik dengan menjadikan karakter ikonik dari seri keduanya – Handsome Jack sebagai fokus. Setidaknya Anda punya penjelasan yang lebih kuat soal latar belakang tokoh yang begitu memorable ini. Soal plot, Borderlands: The Pre-Sequel jadi jawaranya.

Destiny (0) vs Borderlands: The Pre-Sequel (1)

 

Visualisasi

Destiny_20140911005825 Borderlands pre sequel jagatplay (160)
Sangat disayangkan memang, di tengah popularitas konsol generasi terbaru yang kian naik – Playstation 4 dan Xbox One, Gearbox justru memutuskan untuk merilis Borderlands: The Pre-Sequel ini untuk konsol generasi sebelumnya dan PC. Parahnya lagi, mereka tidak membenahi atau menawarkan sisi visual yang baru sama sekali di Pre-Sequel ini. Anda bahkan masih berkutat dengan masalah klasik – tekstur yang dimuat terlambat setiap kali berganti tempat, seperti seri-seri Borderlands sebelumnya. Sementara di sisi lain, Activision dan Bungie memprioritaskan Destiny untuk dua generasi platform konsol dan mati-matian keempatnya berjalan secara optimal, memaksimalkan setiap bagian kecil performa yang bisa mereka dapatkan. Hasilnya pantas untuk diacungi jempol, dengan visualisasi penuh detail yang pantas untuk diacungi jempol. Destiny menang di arena yang satu ini.

Destiny (1) vs Borderlands: The Pre-Sequel (1)

 

Gameplay/Action

Destiny_20140911115230 Borderlands pre sequel fragrap jagatplay (30)
Tidak berlebihan rasanya untuk menyebut bahwa, baik Destiny maupun Borderlands: The Pre-Sequel memang sama-sama tidak didesain untuk dinikmati seorang diri, dan lebih berfokus pada pengalaman multiplayer yang ada. Dan dari sana pulalah, kita akan membandingkan kedua game ini. Borderlands: The Pre-Sequel hadir dengan desain gameplay yang jauh lebih bisa dinikmati daripada Destiny, walaupun ia tidak memuat mode kompetitif di dalamnya. Alih-alih terpecah ke dalam bentuk misi terpisah, ia tetap mengusung konsep dunia open-world yang bebas dijelajahi dengan variasi misi dan misi sampingan yang jauh lebih banyak. Memang ada kesan repetitif karena jenis misi yang kebanyakan serupa, namun setidaknya ia tidak memaksa Anda untuk mengulang misi yang sama secara berulang-ulang dengan konten yang sama sekali tidak berbeda. Sebagai game yang berfokus pada sisi multiplayer, Borderlands: The Pre-Sequel juga mendukung jelas identitas tersebut. Kesempatan melakukan trade, loot yang terasa adil, beberapa skill tree yang juga menghasilkan efek bagi tim lain,  permainan elemen serang yang berkontribusi besar, hampir semua elemen gameplay Borderlands: The Pre-Sequel mudah dinikmati. Apakah Destiny kalah telak? Tentu tidak. Jika ada satu nilai positif yang bisa diambil dari sisi gameplaynya, maka sensasi memegang senjata dan menembak yang begitu intuitif jadi catatan tersendiri. Namun selain itu, Borderlands: The Pre-Sequel mendominasi.

Destiny (1) vs Borderlands: The Pre-Sequel (2)

 

Character Design

Destiny_20140910233039 Borderlands pre sequel jagatplay (56)
Tugas berat untuk membawa pertempuran masif yang ditawarkan Destiny menjadi punya sedikit kepribadian, terletak di pundak seorang Peter Dinklage – yang menjadi pemandu misi sebagai robot kecil simetris – Ghost. Namun statusnya sebagai aktor ternama tidak lantas membuat voice acts-nya sebagai Ghost luar biasa. Disebut sebagai “Dinklebot”, Ghost tampil dengan intonasi yang datar dan dialog yang tak kalah hambar. Sementara di sisi yang lain, hampir semua karakter yang Anda pilih – Titan, Warlock, Hunter juga tidak mengusung kepribadian yang unik masing-masing, dibalik desain armor-nya yang mungkin keren. Secara garis besar, Destiny terasa seperti sebuah dunia bisu yang menolak untuk berbicara kepada Anda apa yang sebenarnya tengah terjadi, apa yang mereka raskanaa, apa yang membuat mereka berbeda di satu sama lain. Bertolak belakang dengan Borderlands: The Pre-Sequel yang hadir seperti sebuah perjalanan gila penuh warna. Karakter utama yang suka mengumpat, suster berakses Rusia yang berbicara sangat efektif, Fragtrap yang tetap cerewet, hingga Handsome Jack yang terlihat sok jago namun dingin. Mereka mampu menghadirkan kepribadian unik, tidak hanya dari dialog dan ekspersi yang kaya, tetapi juga lewat tampilan visual, menjadikan Elpis terasa “hidup”. Sementara di Destiny, semuanya terasa seperti mayat hidup yang dipaksa berdiri dan berbicara satu patah kata.

Destiny (1) vs Borderlands: The Pre-Sequel (3)

 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 14784

Trending Articles