Tidak ada siksaan yang lebih kejam bagi seorang gamer selain disuguhkan sebuah teaser game yang justru berujung pada ketidakpastian. Hal inilah yang mungkin terjadi dengan sebagian besar gamer PC beberapa tahun yang lalu. Terlepas dari konfirmasi eksistensinya yang sudah begitu lama, Blizzard tak kunjung menghadirkan Diablo III, hingga batas membuatnya menjadi lelucon dan legenda dunia maya tersendiri. Untungnya, Blizzard akhirnya dengan tekad penuh, merilis game ini tahun lalu. Sayangnya, beberapa fitur yang sempat didengungkan akan ditawarkan justru ditunda untuk memastikan proses rilis yang tepat waktu. Namun alih-alih berfokus untuk menghadirkan mode PvP yang sudah dijanjikan sejak lama, Blizzard justru memprioritaskan port ke versi konsol. Proses yang akhirnya dirilis dalam bentuk komersil.
Pertanyaannya besar tentu saja tinggal satu, apa yang membuat versi ini akan mampu menarik kembali hati para gamer yang sudah ataupun belum mencicipi Diablo III di PC sebelumnya? Seperti yang kita tahu, mekanisme RPG isometrik memang menjadikan point dan click sebagai mekanisme navigasi utama, apalagi dengan segudang user-interface yang memang didesain untuk dimaksimalkan dengan mouse dan keyboard. Apakah Blizzard mampu menghasilkan pengalaman yang sama dengan kontroler konsol? Ini menjadi tantangan terberat. Tidak hanya itu saja, Diablo III di versi PC juga memang terkenal karena beberapa fitur unik yang sempat memicu kontroversi. Lantas apa yang sebenarnya ditawarkan oleh Diablo III versi konsol ini? Mengapa kami menyebutnya sebagai versi yang lebih optimal dibandingkan PC?
A Little Flashback
Untuk memberikan sedikit gambaran “impresi” kami terhadap Diablo III versi PC tahun lalu, izinkan kami melemparkan kesimpulan dari review yang sempat kami rilis pada tanggal 30 Mei 2012. Anda juga bisa mendapatkan sedikit bahan untuk melakukan komparasi apa yang akan kami lontarkan di review kali ini:
“Lantas apa yang bisa disimpulkan dari Diablo III? Sebagai seorang gamer yang begitu menikmati kedua seri sebelumnya dan dengan sabar menunggu kehadiran seri ketiga ini, ada dilema yang menyertai pengalaman memainkan Diablo III ini. Di satu sisi ada rasa lega dan puas karena akhirnya dapat memainkan game ini secara langsung. Perubahan mekanisme gameplay yang diusung Blizzard memang terasa cukup absurd di awal-awal permainan, namun menjadi jauh lebih dinikmati seiring dengan berjalannya waktu permainan. Semua pengalaman ini tampil semakin maksimal ketika mulai menginjak tingkat kesulitan tinggi yang menuntut Anda untuk melakukan party dengan gamer lain di seluruh dunia. Bekerja sama, berinteraksi, dan beragam fitur khas MMO membuat replayability game ini begitu tinggi.
Di sisi yang lain, ada kekecewaan yang begitu mendalam melihat betapa “dangkal”nya sebuah franchise Diablo tampil di seri ketiga ini. Pertanyaan pertama yang sempat menghampiri saya pribadi, “Game seperti ini butuh lebih dari 10 tahun untuk dikembangkan? Apa yang sebenarnya dilakukan Blizzard selama 10 tahun ini?”. Hampir tidak ada keistimewaan yang merepresentasikan proses pengembangan yang begitu lama. Kualitas grafis yang tidak memesona untuk standar saat ini, fitur-fitur MMO yang mulai bergerak menjadi sesuatu yang mainstream, plot yang klise, perubahan gameplay yang lebih berfokus pada loot, dan waktu gaming yang bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Apa yang mereka lakukan selama 10 tahun ini selain mengembangkan sebuah sistem Auction House dan PvP yang bahkan belum berjalan sempurna? Ini tentu menjadi sebuah misteri.
Pantas atau tidakkah Diablo III untuk dimainkan? Saya pribadi merekomendasikannya. Di balik semua kekurangan dan kedangkalan yang dimilikinya dibandingkan kedua seri sebelumnya, Diablo III adalah sebuah game yang tetap menyenangkan untuk dimainkan dan adiktif. Flow pertarungan yang cepat dengan fokus pada penggunaan skill yang strategis akan membuat adrenalin Anda secara konstan mengalir, apalagi ketika menginjak tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Di samping itu, ia masih mengandung segudang potensi dan masih memungkinkan untuk disempurnakan oleh Blizzard di masa depan.”
Terlepas dari beragam fitur yang mungkin akan mengecewakan para penggiat franchise Diablo di seri sebelumnya, Diablo III memang masih memiliki segudang potensi untuk terus dimaksimalkan, setidaknya menghasilkan pengalaman yang lebih nyaman. Ada kesan MMO yang kuat di sana lewat kemudahan berinteraksi dan bergabung dengan gamer lain untuk terlibat dalam petualangan bersama, sekaligus misi untuk mencari equipment yang lebih baik. Namun percaya atau tidak, semua pengalaman yang cukup kuat ini ternyata berakhir jauh lebih sempurna di versi konsol Xbox 360 dan Playstation 3. Sebuah pengalaman yang mungkin akan membuat para penggemar lawas Diablo melirik seri ini kembali.
“Sensasi” Diablo 2 yang Muncul Kembali
Diablo II dan Diablo III adalah dua seri yang berbeda, ini menjadi fakta yang tidak bisa diganggu gugat. Sebagai sebuah game hasil port, Blizzard tentu tidak mengubah mekanisme dasar gameplay secara signifikan. Anda tetap akan disuguhkan sebuah gameplay RPG isometrik yang mengakar pada kombinasi skill dan bukan lagi kebebasan menciptakan karakter beradasarkan atribut status seperti seri-seri sebelumnya. Atmosfer action mengalir lewat aksi pertarungan yang berjalan cepat, menuntut Anda untuk mengkombinasikan segudang skill yang ditawarkan dengan efektif. Sensasi yang sama juga tetap ditawarkan Diablo III versi konsol ini. Namun anehnya, versi port ini justru akan membuat Anda teringat pada Diablo II, dan bukannya Diablo III versi PC. Mengapa?
Lupakan sejenak tentang perubahan mekanisme gameplay dari seri sebelumnya. Jika dibandingkan dengan versi PC-nya, Diablo III versi konsol ini menawarkan atmosfer gameplay yang lebih kentara dengan sensasi seri-seri sebelumnya. Pertama, Blizzard memutuskan untuk tidak lagi menghadirkan kebutuhan konektivitas Battle.net di versi konsol ini. Tidak ada lagi kebijakan always-online seperti versi PC yang sarat masalah dan merepotkan. Anda hanya tinggal menyalakan mesin konsol, memasukkan disc Diablo III ke dalamnya, dan tada! Anda siap untuk memulai perjalanan panjang Anda menundukkan iblis yang satu ini. Tidak ada lagi tuntutan untuk memastikan koneksi internet Anda stabil. Menariknya lagi, hilangnya Battle.net ternyata menghasilkan implikasi yang unik di sisi gameplay.
Sebagian besar gamer yang sempat mencicipi versi PC-nya tentu setuju pada satu hal, bahwa perlahan namun pasti, sebagian besar gamer seolah melupakan tujuan utama mereka membeli Diablo III. Misi awal yang seharusnya untuk bersenang-senang sendiri ataupun bersama gamer lain, menyelesaikan jalan cerita utama di berbagai tingkat kesulitan, kini menjadi objektif langka yang sulit untuk ditemukan. Penerapan Auction House dari Battle.net membuat banyak gamer yang kini hanya berfokus melakukan grinding, mencari equipment terkuat yang bisa mereka dapatkan dan melelangnya untuk sejumlah uang. Terlepas dari keharusan untuk mengulang map yang mungkin akan terasa monoton, Diablo III versi PC perlahan menjadi arena kompetisi untuk mencari item langka dan bukan lagi kesenangan. Sementara di versi konsol, “kemurnian” atmosfer dan sensasi Diablo yang selama ini kita kenal masih mengalir kuat dengan absennya Battle.net.
Tapi bukankah hilangnya Auction House, berarti menihilkan potensi untuk mendapatkan equipment terbaik di dalam game? Blizzard tentu saja memahami resiko ini. Sebagai jawabannya, mereka meluncurkan mekanisme loot yang lebih adaptif. Alih-alih harus bergumul dengan ratusan item yang jatuh berantakan begitu saja di lantai, setiap chest atau musuh yang Anda kalahkan akan kini menjatuhkan loot yang lebih relevan dengan karakter yang Anda pilih. Tidak hanya itu saja, Blizzard lebih “bermurah hati” dengan meningkatkan probabilitas jatuhnya senjata dan armor dengan tingkat kelangkaan tinggi. Hasilnya? Anda tetap dapat menikmati game ini secara optimal, seperti halnya ketika Anda memainkan Diablo II di masa lalu, tanpa Battle.net, tanpa Auction House, tanpa pikiran materialistis untuk mengeksploitasi setiap item langka.