Rating di dalam game memang belum jadi standar yang diaplikasikan aktif di Indonesia, termasuk oleh orang tua yang tampaknya masih berpikir bahwa “video game adalah mainan anak-anak”. Maka hasilnya? Tak jarang kita bertemu dengan anak-anak yang dengan bebas memainkan game-game orang dewasa sekelas GTA, misalnya. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan kondisi negara-negara maju di luar sana yang mulai memerhatikannya sebagai sesuatu yang serius, memastikan anak-anak tidak terjebak dalam game dengan konten yang tak seharusnya mereka cicipi. Badan Rating Eropa bahkan mulai menjajaki opsi untuk beradaptasi dengan game-game Virtual Reality.
Ini tentu saja langkah yang masuk akal mengingat tiga produk Virtual Reality raksasa – Oculus Rift, HTC Vive, dan Playstation VR semuanya akan membanjiri pasar tahun depan. PEGI – Badan Rating Umur untuk kawasan Eropa mengumumkan bahwa mereka akan beradaptasi dengan kondisi ini dan mengevaluasi sistem rating mereka untuk game-game Virtual Reality. Dengan pengalaman yang lebih imersif, PEGI takut bahwa game-game dengan konten horror dan penuh ketakutan akan bisa menimbulkan trauma tersendiri untuk gamer yang masih berusia muda. Mereka akan mulai merombak sejumlah elemen penilaian.
Ini tentu saja jadi perubahan positif yang pantas untuk disambut oleh gamer di seluruh dunia, walaupun tak begitu banyak berpengaruh di Indonesia, misalnya. Namun kekhawatiran bahwa sebuah game Virtual Reality mampu menciptakan “trauma” tersendiri juga jadi semacam pembuktian kualitas seberapa imersifnya pengalaman yang mampu ia tawarkan. Sebuah alasan untuk justru mengantisipasinya dengan lebih penuh ketertarikan.
Bagaimana dengan Anda sendiri? Berapa banyak dari Anda yang tertarik untuk membeli perangkat Virtual Reality tahun depan ketika mulai tersedia secara komersial?