Hanya satu turnamen raksasa setiap tahunnya? Terlepas dari pencapaian luar biasa, bahkan dengan hadiah yang menyentuh angka belasan juta USD, iklim seperti ini tentu saja tidak sehat untuk DOTA 2 – game kompetitif populer yang berada di bawah bendera raksasa Valve. Oleh karena itu, mereka mulai berusaha untuk mendistribusikan perhatian ke lebih banyak turnamen sepanjang tahun selain The International, sebuah turnamen yang mereka sebut sebagai “Majors”. Setelah kesuksesan Frankfurt Major yang menobatkan tim baru – OG sebagai pemenang dengan hadiah USD 3 juta, kini DOTA 2 siap beralih ke Majors selanjutnya – Shanghai Majors yang akan diselenggarkan di China tengah tahun ini. Sayangnya, ia harus dimulai dengan berita memalukan dari Indonesia itu sendiri.
Valve sendiri sudah mengumumkan tim mana saja yang berhak atas undangan langsung untuk berkompetisi di event yang satu ini, sekaligus menentukan siapa saja yang akan bertarung demi spot terbatas lainnya. Menariknya lagi? Mereka juga membuka kualifikasi terbuka untuk tim “tanpa nama” yang hendak menggapai mimpi mereka untuk bertempur di kancah internasional. Salah satunya adalah RISE.CAT – tim DOTA 2 dari Indonesia. RISE.CAT menjadi bahan pembicaraan hangat di beragam komunitas DOTA 2 selama 24 jam terakhir ini. Bukan karena sebuah aksi keren, tetapi sebuah sikap tidak professional yang membuat mereka dicemooh di dunia maya.
Bertarung dengan Team Elunes dari India, RISE.CAT melakukan sebuah aksi memalukan. Mereka secara pihak melakukan aksi Unpause / melanjutkan permainan ketika kelima anggota Team Elunes mengalami masalah teknis dan terputus dari permainan. Tindakan unpause sepihak ini dilanjutkan dengan tanpa malu, menghancurkan barracks Team Elunes begitu saja. Gelombang protes mengemuka dan laporan ke panitia Shanghai Majors pun gencar dilakukan. Untungnya, sang penyelenggara event cukup peka dan tanggap terhadap masalah ini. Dengan bukti yang ada, kemenangan RISE.CAT secara resmi dianulir tetapi tetap dibolehkan untuk ikut di kualifikasi kedua.
Ini tentu saja menjadi sebuah kejadian yang sangat disayangkan, apalagi mengingat betapa “hausnya” kita untuk sebuah pengakuan internasional, apalagi ketika membicarakan talenta-talenta gaming dalam negeri yang belum sepenuhnya digali. What a shame..