Mengembangkan sebuah game yang dirilis tahunan memang bukan pekerjaan yang mudah. Terlepas dari ragam strategi yang bisa diimplementasikan oleh sang developer dan publisher untuk membuatnya senantiasa “segar”. Seperti sebuah ramalan yang tak terhindarkan, sebuah takdir yang sudah tertulis jauh-jauh hari, produk seperti ini akan menyentuh titik jenuh di mata para konsumennya. Bahwa, pengorbanan untuk terus mengeluarkan uang setiap tahun untuk memilikinya, apalagi dengan perubahan yang tak terlalu signifikan, adalah sesuatu yang butuh dipikirkan ulang. Apalagi jika produk tersebut dengan jelas menolak apa yang diminta oleh sebagian besar basis fansnya. Di industri game, kondisi seperti ini sepertinya melekat kuat pada franchise populer – Activision.
Di tahun 2016 ini, persaingan memang panas untuk Activision. Battlefield 1 – sang kompetitor utama memutuskan untuk memenuhi permintaan gamer dengan tema perang klasik yang tetap berhasil inovatif di sisi multiplayer, sementara Titanfall 2 “bertanggung jawab” untuk berhadapan langsung dengan Infinite Warfare dari sisi tema. Ada rasa pesimis bahwa Infinity Ward bisa membuat proyek ini berakhir menjadi sesuatu yang memukau, apalagi setelah sinyal trailer dan screenshot perdana yang bisa dibilang berakhir tak terlalu “menggoda”. Infinity Ward sendiri mengklaim bahwa mereka memang berusaha menawarkan sesuatu yang berbeda secara signifikan dengan seri terbaru ini, yang bahkan mereka klaim sama seperti apa yang mereka tempuh dari tema perang dunia ke Modern Warfare di masa lalu.
Hasilnya? Setidaknya impresi pertama yang ia tawarkan tak seburuk yang dibayangkan. Anda yang sempat membaca preview kami sebelumnya tampaknya sudah punya sedikit gambaran soal apa yang ditawarkan oleh mode single player yang ada, sekaligus beragam hal baru yang mereka suntikkan untuk membuatnya terasa seperti Call of Duty yang berbeda. Salah satu yang membuat kami jatuh hati adalah betapa seriusnya plot yang ditawarkan, terlepas dari tema sci-fi yang semakin kentara. Pengorbanan, kematian, semangat patriotik yang membara sepertinya jadi sebuah tema besar. Pertanyaannya kini, adalah apakah ia cukup untuk membuat gamer “jatuh hati” kembali pada Infinite Warfare itu sendiri? Jawaban yang butuh ekstra kerja keras dari Infinity Ward.
Lantas, apa yang sebenarnya ditawarkan oleh Call of Duty: Infinite Warfare ini? Mengapa kami menyebutnya sebagai sebuah game yang tak terasa istimewa di akhir? Review ini akan membahasnya lebih dalam untuk Anda.
Plot
Sepertinya sudah jadi rahasia umum bahwa dengan Infinite Warfare ini, Activision dan Infinity Ward memang mendorong tema cerita yang ada masuk ke dalam ranah sci-fi. Berita baiknya? Keputusan untuk masuk total ke zona ini berarti mereka tak perlu lagi “menjual” slogan soal teknologi yang mungkin atau tidak mungkin diimplementasikan manusia di masa depan. Hasilnya adalah totalitas. Dari sisi gameplay, mereka bisa meracik teknologi senjata apapun yang merkea inginkan. Sementara dari sisi cerita? Tak ada lagi batasan seperti apa cerita seri ini harus disulam, memberikan kebebasan yang nyaris mutlak bagi si penulis cerita untuk meracik jalinan konflik atau drama di dalamnya. Hasilnya sendiri, terhitung luar biasa.
Ketika populasi meledak dan bumi tak mampu lagi menyediakan apa yang dibutuhkan, manusia mulai menjadikan tata surya sebagai “rumah” yang baru. Proses kolonisasi dilakukan oleh UNSA – United Nations Space Alliance yang merupakan gabungan dari negara-negara di dunia untuk menyelamatkan dan membawa manusia ke luar angkasa. Pembangunan markas dan tempat tinggal di luar bumi berjalan lancar, namun manusia sendiri, sepertinya tak bisa lepas dari konflik dan keserekahan dari dalam unit mereka sendiri. Sebuah organisasi militan bernama Settlement Defense Front (SDF) menjadi pihak opisisi. Perang pun tak terhindarkan ketika SDF tak lagi diam dan memutuskan untuk menyerang bumi itu sendiri.
Anda sendiri berperan sebagai seorang pilot andalan di SCAR – Special Combat Air Recon bernama Nick Reyes. Informasi soal beragam operasi rahasia yang dilakukan oleh SDF di salah satu planet memang sudah sempat sampai di telinga Anda, namun tak ada yang pernah memprediksi, bahwa mereka cukup berani untuk menyerang bumi secara langsung. Namun malapetaka tersebut terjadi, dan SDF berhasil menghancurkan sebagian besar kekuatan militer UNSA itu sendiri. Dengan kondisi yang kian memanas, Reyes berusaha melawan balik dan menyelamatkan apa yang bisa ia selamatkan. Di akhir, hanya dua kapal perang utama UNSA – Retribution dan Tigris saja yang berhasil selamat.
Menolak untuk menyerah, Reyes bersama dengan dua companion utamanya – seorang prajurit wanita bernama Salter dan sebuah robot dengan kepribadian bernama Ethan berhasil menyelamatkan diri ke Retribution yang berhasil memukul mundur pasukan SDF yang ternyata juga memiliki kapal perang raksasa yang mematikan. Namun sayangnya, Admiral di dalam Retribution ternyata menjadi salah satu korban dari serangan tersebut. Reyes sebagai pangkat kedua tertinggi di dalam kapal pun diangkat menjadi Kapten dan punya satu tugas – memerintah semua kru di dalam Retribution itu sendiri. Langkah pertama Reyes? Melemparkan serangan balik pada SDF di titik terpenting mereka.
Lantas, rencana jahat seperti apa yang tengah dipersiapkan oleh SDF? Mampukah UNSA dengan pasukan yang begitu terbatas mampu melakukan aksi balas dendam mereka dan menyelamatkan bumi? Seperti apa konflik ini akan berakhir? Semua jawaban dari pertanyaan tersebut bisa Anda dapatkan dengan memainkan Infinite Warfare ini.