Hobi dan uang, dua elemen hidup yang boleh terbilang, sulit untuk disinergikan dalam satu langkah yang sama, setidaknya untuk saling mendukung satu sama lain. Skenario yang seringkali terjadi hanya dua: hobi membantu Anda menghabiskan uang, atau uang menjadi alasan utama Anda tidak bisa menikmati sang hobi. Berangkat dari pemandangan umum inilah, manusia, termasuk Anda dan kami, memimpikan sebuah kondisi dimana uang dan hobi bisa berjalan bersama, saling mendukung. Bekerja sembari bersenang-senang? Bergembira tetapi menghasilkan uang di saat yang sama? Tidak ada kondisi yang tampaknya ideal daripada itu untuk menikmati hidup secara maksimal. Bagi seorang gamer, mimpi ini terletak pada satu label pekerjaan – “Gamer Professional”.
Berbeda dengan gamer yang sekedar bermain untuk kesenangan, menyandang gelar sebagai Pro Gamer berarti menjadikan industri game yang selama ini seringkali diidentikkan sebagai “tempat bermain”, sebagai mata pencaharian utama. Berjalan dari satu kompetisi ke kompetisi yang lain, sembari mengusung nama sponsor yang terpampang indah di seragam, dan berusaha memenangkan setiap pertarungan yang ada, Pro Gamer adalah sebuah pekerjaan yang “terdengar” begitu indah dan mudah untuk dilakukan. Bagi gamer yang menggantungkan naluri kompetitif mereka di DOTA 2 milik Valve, bergabung ke dalam tim-tim besar sekelas Navi, Fnatic, atau Alliance menjadi target yang seolah begitu rasional. Dengan bermodalkan permainan ribuan jam dan skill yang sedikit terasah di atas rata-rata, memasuki dunia pro gaming terlihat sangat menggiurkan. Mimpi itu terasa begitu dekat.
Namun dunia kompetitif DOTA 2 ternyata tidaklah sesederhana dan semudah yang dibayangkan. Lewat sebuah film dokumenter yang dirilis oleh Valve – Free to Play, Anda akan bisa menangkap sedikit gambaran apa yang harus Anda lalui untuk mencapai hal tersebut.
Mimpi yang Tidak Mudah!
Free to Play, adalah kata yang berusaha dihindari oleh sebagian besar gamer saat ini. Ia diasosiasikan sebagai format distribusi game yang terlihat manis di depan, namun menusuk di belakang dengan segudang microstransactions yang terkadang tidak hanya sekedar ditawarkan, tetapi dipaksakan. Namun bukan Free to Play itu yang hendak kita bicarakan di sini. Free to Play yang satu ini akan membantu Anda mendapatkan gambaran tentang dunia di belakang scene pro gaming DOTA 2 yang memang tengah populer. Hal-hal yang tidak pernah Anda lihat dan pahami di belakang silaunya lampu sorot, dukungan massa yang bersorak sorai, dan secarik kupon kemenangan bertuliskan angka USD 1 juta di dalamnya. Valve ingin membawa Anda untuk memahami lebih dalam tentang dunia yang begitu diimpikan gamer ini.
Satu judul dengan tiga buah makna yang saling berkaitan satu sama lain, film dokumenter ini memang pantas disebut sebagai Free to Play. Pertama, ia membahas salah satu game free to play dengan implementasi format terbaik dan seimbang – DOTA 2, yang memang didistribusikan secara cuma-cuma via Steam. Kedua, film sendiri bisa dinikmati secara bebas tanpa biaya dan Anda bisa memutarnya secara gratis – Free to Play. Namun makna terdalam tentu saja menyangkut tentang kisah tiga pemain professional ternama: Dendi dari Na’vi, Hyhy dari Scythe, dan Fear dari OK. Nirvana Int yang tengah berjuang untuk dimengerti, dipahami, dan akhirnya bebas untuk menentukan jalannya sebagai seorang gamer profesional. Kebebasan untuk bermain – free to play.
Film dokumenter ini akan menangkap semua momen penting di balik layar The International pertama – sebuah event historis di kancah e-Sports dengan melambungkan prestige olahraga elektronik yang satu ini via jumlah hadiah yang fantastis – USD 1,6 juta. Tak ubahnya bunga yang menarik para lebah di sekitar, The International menarik tim-tim terbaik DOTA 2 dari seluruh dunia untuk berkompetisi dan saling menguji skill mereka masing-masing. Di sana mereka dipuja oleh gamer bagaikan tokoh idola, pahlawan, bahkan dewa. Semua gegap gempita kompetisi yang Anda lihat di layar kaca, dengan lampu sorot dan laser yang muncul di mana-mana tidak lantas membuat setiap manusia yang Anda puja di balik kaca kedap suara tersebut tidak bercelah. Menjalani mimpi sebagai gamer professional bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah.
Free to Play mendalami hal tersebut dan membawa kita ke area sensitif yang ternyata membuat kami menyimpulkan satu hal, bahwa hal yang seringkali kita alami karena status gamer yang kita sandang, ternyata juga menjadi beban yang sama bagi ketiga orang ini. Berapa banyak dari Anda yang bermimpi hendak menjadi gamer PRO DOTA 2? Berapa banyak dari Anda yang benar-benar berlatih dan berjuang untuk mewujudkan mimpi tersebut? Berapa banyak dari Anda yang mulai berusaha mendefinisikan diri dengan beragam perangkat peripheral super keren untuk menunjang performa gaming Anda? Apakah semua hal ini mendorong Anda lebih dekat sebagai seorang professional? Jika ada sesuatu yang bisa dipetik dari Free to Play dan kisah Dendi – Hyhy – Fear adalah bahwa, mimpi ini tidak akan pernah mudah dicapai.
Pertanyaan utama yang sebenarnya adalah, “Apa yang berani Anda korbankan untuk mengejar karir sebagai seorang gamer professional?”. Baik Dendi – Hyhy – Fear menunjukkan bahwa satu-satunya rintangan terbesar yang menghalangi Anda adalah pertanyaan yang satu ini. Tumbuh di keluarga Asia yang ketat, karir sebagai “Gamer professional” bukanlah sesuatu yang bisa dimengerti oleh keluarga Hyhy dan justru dilihat sebagai rintangan yang membuatnya tenggelam dalam masalah akademis yang terus terjadi. Terlepas dari prestasinya, Hyhy tidak pernah mendapatkan satupun senyum bangga orang tua dari setiap kiprahnya di scene professional DOTA 2. Semua dedikasi yang ia lemparkan masih dilihat sebagai bagian dari sekedar “main-main”. Apalagi ia lebih memilih untuk ikut The International dan meninggalkan sekolah di kala periode ujian, yang tentu saja membuat resiko anjloknya kehidupan akademis di usia sangat muda.
Fear juga mengalami hal yang tidak banyak berbeda. Hidup dan berkembang bersama dengan tim yang berbasis di Eropa, Fear harus berjuang dengan jadwal tidur yang kacau untuk menyesuaikan jadwal kompetisi yang berputar di luar waktu normal Amerika Serikat. Hasilnya? Ia tidak lagi memiliki waktu tidur pasti dan semua aktivitas ini mulai membuat orang tuanya tidak lagi mampu memberikan toleransi. Ia ditendang keluar dan diminta untuk menjalani hidup sendiri. Di sisi yang lain, usia yang kian menua tentu saja menuntut Fear untuk mengemban beberapa tanggung jawab finansial yang membuat karir professional gamingnya lebih kompleks.
Konflik yang serupa juga terjadi pada salah satu pemain DOTA 2 terbaik di dunia – Dendi. Terlepas dari keluarga yang memang lebih terbuka pada fakta bahwa ia memilih gaming sebagai jalur karir professional, gaming menjadi hal yang lebih personal untuknya. Dilanda kesedihan karena kehilangan ayah di usia yang sangat muda, Dendi beralih pada video game sebagai sarana terbaik untuk melarikan diri dan menemukan kembali semangat hidup, setidaknya membuatnya tidak lagi terlalu memikirkan sosok sang ayah. Di sisi yang lain, keuangan keluarga yang juga tidak terlalu sehat juga membuat Dendi menjadikan The International pertama sebagai momen terbaik untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Tidak hanya untuk dirinyak, tetapi juga keluarga yang ia cintai.
Free to Play tidak hanya menjual berbagai hal menarik dan jalan karir fantastis yang bisa dicapai dengan professional gaming. Ia membawa Anda ke sisi yang lain, sisi yang lebih gelap dan personal di balik layar kompetisi bernilai jutaan dollar – The International, setidaknya membantu Anda mendapatkan gambaran betapa sulitnya meniti karir sebagai seorang gamer professional. Bahwa di balik semua ketenaran dan posisi prestige yang diraih oleh setiap dari mereka, gamer sekelas Hyhy – Dendi – Fear harus mengorbankan begitu banyak hal yang bisa saja membuat mereka jatuh ke dalam kondisi yang bertolak belakang dari apa yang mereka capai saat ini. Pertanyaannya untuk kita semua yang memimpikan hal yang sama: berapa banyak kita berani berkorban?