Apa yang Anda pikirkan ketika mendengar kata game indie saat ini? Sebagian dari kita mungkin akan langsung mengasosiasikannya dengan dua identitas utama: keunikan dan gaya visualisasi jadul. Berbeda dengan game-game racikan publisher raksasa yang terkesan bermain “aman” dengan hanya menawarkan gameplay di genre yang mainsteam, game indie biasanya menawarkan kualitas gameplay yang luar biasa adiktif dan sangat berbeda di saat yang sama. Namun sayangnya, keterbatasan dana biasanya mendorong mereka untuk menciptakan game dengan kualitas visualisasi yang harus diakui – tidak pantas dijadikan sebagai nilai jual utama. Namun dari semua developer indie yang berkecimpung, nama Supergiant Games tampaknya mendobrak stereotype ini. Lewat Bastion, mereka memperlihatkan bagaimana sebuah game indie dapat tampil menarik di sisi gameplay dan estetik. Ciri sama yang juga mengakar pada proyek teranyar mereka – Transistor.
Anda yang sempat membaca preview kami sebelumnya tentu saja sudah punya sedikit gambaran tentang apa yang ditawarkan oleh Transistor ini. Salah satu yang yang paling menarik perhatian mungkin kualitas visual isometrik dua dimensi yang diracik dengan sangat manis, lewat desain lingkungan, karakter, dan permainan warna yang luar biasa. Diperkuat dengan voice acts dan musik yang tidak kalah luar biasa, kami memang jatuh cinta sejak pandangan pertama. Menariknya lagi, Supergiant Games juga terhitung berhasil mengintegrasikan gameplay sebuah action RPG yang unik dan belum pernah ada sebelumnya. Kombinasi yang berhasil meninggalkan impresi yang begitu kuat, terlepas statusnya sebagai sebuah game indie.
Lantas, apa yang sebenarnya ditawarkan oleh Transistor ini? Mengapa kami menyebutnya sebagai game dengan kualitas eksekusi yang nyaris sempurna? Review ini akan membahasnya lebih dalam untuk Anda.
Plot
Seorang penyanyi yang hidup tanpa suara, inilah takdir yang harus dihadapi oleh sang karakter utama – Red setelah pertemuannya dengan organisasi teroris – Camerata. Menjadi dalang dari hilangnya banyak orang penting dari Cloudbank, Camerata melepaskan gelombang robot bernama “The Process” untuk melakukan pekerjaan kotor mereka ini. Dikendalikan dengan sebuah pedang bernama The Transistor, Red yang diserang oleh The Process – terancam meregang nyawa, sebelum diselamatkan oleh sang kekasih yang identitasnya sendiri memang tidak banyak terungkap. Event menghancurkan hati yang membawa Red menjalankan sebuah hidup yang jauh kata “glamor”.
Jatuh di bawah kekuasaannya, The Transistor ternyata bukanlah sebuah pedang besar yang hanya sekedar kuat, tetapi juga unik. Pedang ini menyerap dan mencerminkan kepribadian orang terakhir yang ia habisi, yang di sini notabene – merupakan kekasih dari Red sendiri. Sementara di sisi lain, hilangnya The Transistor membuat Camerata kehilangan kendali akan The Process yang kini mulai menginvasi Cloudbank dengan begitu cepat. Misi Red dan The Transistor saat ini hanya satu, berburu Camerata dan menghancurkan mereka. Bergerak dari satu area Cloudbank ke area selanjutnya, Red tentu saja harus bertarung dengan segudang ancaman yang siap untuk menghalangi misi balas dendamnya.
Lantas, mampukah Red menghabisi para Camerata? Apa itu sebenarnya The Process? Mampukah Red bertemu kembali dengan sang kekasih yang jiwanya kini terperangkap dalam The Transistor? Semua pertanyaan ini bisa Anda jawab dengan memainkan Transistor ini sendiri.