Menjelang penutupan tahun, dan tidak ada lagi momen yang lebih tepat untuk melihat apa yang sudah kita lakukan selama setahun terakhir ini, tentu saja – lebih pada kapasitas kita sebagai seorang gamer. Tahun 2016 adalah tahun yang cukup memanjakan bagi para gamer, apalagi dengan begitu franchise raksasa yang akhirnya menelurkan seri-seri teranyar mereka. Developer mulai beralih pada konsol generasi terbaru, melahirkan game-game dengan kualitas visual yang memang pantas menyandang predikat sebagai “new-gen”, dan developer indie secara konsisten mengeksplor konsep gameplay yang terhitung menyegarkan. Walaupun demikian, tidak sedikit pula yang justru hadir membawa lebih banyak kekecewaan daripada rasa puas. Game-game yang berujung tidak mampu memenuhi apa yang mereka janjikan sejak awal.
Semakin besar harapan, semakin pula besar kekecewaan yang bisa timbul, konsep ini mungkin paling tepat untuk menjelaskan salah satu kata yang kian sering diucapkan di industri game saat ini, Over-Hype. Dengan trailer dan screenshot yang dikemas sedemikian rupa, apalagi klaim dan janji para developer yang terus bergaung selama beberapa bulan sebelum rilis, tidak mengherankan jika gamer mulai membangun ekspektasi tertentu terhadap game yang mereka incar. Namun sayangnya, kita sering lupa bahwa industri game tetaplah sebuah bisnis. Hype yang sudah terbangun manis, berujung pada angka pre-order yang manis. Namun sayangnya, tidak seperti dongeng dengan akhir cerita indah, gamer justru mendapatkan sesuatu yang bertolak belakang dari apa yang mereka harapkan. Kekecewaan menjadi respon yang tepat.
Tapi ingat, MENGECEWAKAN BUKAN BERARTI BURUK. Hampir sebagian besar game yang dimasukkan ke dalam list ini adalah game-game yang masih bisa dinikmati, bahkan menawarkan kekuatan visual, gameplay, dan terkadang – cerita yang solid. Mengecewakan di sini hanya mengakar pada ketidakmampuan game-game ini untuk hadir dalam kualitas yang sepadan dengan hype yang sudah terbangun selama ini. Game-game yang sudah membuat banyak gamer berharap dan bermimpi, namun berakhir melemparkan semua energi positif ke tanah dan menginjak-nginjaknya tanpa ampun.
Jadi, dari semua game yang dirilis di tahun 2016, game-game mana saja yang menurut JagatPlay paling mengecewakan? Berikut adalah list 10 game paling mengecewakan tahun ini:
-
Final Fantasy XV
Berusaha menawarkan sesuatu yang baru dan berbeda untuk sebuah franchise yang sudah eksis selama lebih dari tiga dekade memang bukan pekerjaan yang mudah. Setelah terkatung-katung untuk waktu yang cukup lama, Hajime Tabata memang punya pekerjaan berat untuk memastikan game yang mengusung konsep semi open-world ini memenuhi antisipasi selama 10 tahun terakhir. Dari sisi gameplay dan konten misi yang ada? Eksekusi berjalan begitu fantastis. Namun begitu kita masuk ke ranah cerita? Final Fantasy XV bisa dibilang hadir dengan konten cerita paling berantakan di sepanjang eksistensi franchise, sesuatu yang akan kami bicarakan lebih panjang di sesi review nantinya. Begitu banyak plot penting yang tak diceritakan, sehingga terkesan membuka celah selebar mungkin untuk lebih banyak DLC. Harapan untuk menikmati lebih banyak konten ekstra seperti Summon dan Kota sekalipun harus pupus setelah Anda menyadari bahwa apa yang selama ini dibicarakan Tabata, apa yang ia janjikan, adalah apa yang Anda dapatkan dan temukan. Mengecewakan, memang.
-
Street Fighter V
Apa yang penting dari sebuah game fighting? Support dan proses balancing yang dipikirkan matang akan jadi formula dasar yang efektif untuk menjaminnya hidup untuk waktu yang cukup lama, apalagi jika ia berhasil menetapkan diri sebagai scene e-Sports yang baru. Namun di awal rilis, terlepas dari ekspektasi yang begitu kuat, Capcom justru membuat Street Fighter V terasa seperti sebuah game Early Access. Gameplay yang solid tidak menjadi justifikasi kuat soal keterbatasan konten yang ada. Konten level yang minim, karakter sedikit, mode cerita sinematik yang baru dirilis dalam bentuk update besar beberapa bulan setelah rilis, hingga penyempurnaan mode multiplayer yang baru dilakukan setelah game cukup lama rilis jadi semacam tamparan keras. Mengapa? Karena tak sedikit gamer, seperti kami, yang sudah kehilangan ketertarikan untuk terus bertahan sembari menunggu Capcom secara berkala, mengirimkan konten yang membuatnya jadi game Street Fighter V yang “sesungguhnya”. Kami pribadi lebih memilih Capcom menunda game ini lebih lama dan melepasnya begitu konten yang seharusnya esensial sudah tersedia sejak hari pertama.
-
Homefront: The Revolution
Walaupun JagatPlay tak pernah melepas review resmi terkait game action open-world yang satu ini, kami sendiri sempat menjajalnya dalam sesi akhir minggu gratis yang sempat ditawarkan oleh Deep Silver. Berangkat dari sebuah seri potensial yang eksekusinya terhitung “memble”, The Revolution memang punya tugas berat. Sayangnya, bahkan untuk gamer yang tak banyak berharap, game ini masih berakhir mengecewakan. Terlepas dari klaim beragam update yang diklaim sudah mengatasi hampir semua masalah teknis yang ada, sesi singkat gaming kami masih berhadapan dengan AI yang bahkan memutuskan untuk berdiri diam di beberapa titik dan tak melakukan perlawanan. Atmosfer yang memesona berakhir tak ditunjang dengan gameplay dan konten misi yang bisa dibilang, menarik. Klise, konten yang lemah, Homefront: The Revolution berakhir mengecewakan untuk kami yang bahkan tak berharap banyak.
-
Star Ocean: Integrity and Faithlessness
Satu hal yang menarik dari sebuah franchise yang sudah eksis untuk waktu lama adalah fakta bahwa seri-seri awalnya selalu berakhir menetapkan satu atau dua identitas spesifik yang mendefinisikannya. Bagi gamer yang mencintai Star Ocean, JRPG ini selalu berpusat pada perjalanan melintasi dunia dan bertemu dengan beragam peradaban dengan skala kemajuan yang berbeda-beda pula. Tapi sayangnya, di seri terbaru yang dilepas untuk platform generasi saat ini, Star Ocean: Integrity and Faithlessness justru terasa seperti sebuah unjuk kualitas visual dan pencapaian teknologi seperti apa yang mampu ditawarkan oleh tri-Ace, alih-alih sebuah game Star Ocean yang pantas menyandang nama besar JRPG tersebut. Terperangkap di hanya satu planet dengan daerah yang bisa dibilang sempit, minimnya konten tersebut juga diperparah dengan fakta bahwa beberapa scene penting justru berakhir hanya dijabarkan dengan kata-kata saja tanpa visualisasi, yang seharusnya, bisa membuat game ini berakhir jauh lebih epik.