Video game, apapun itu platformnya, menjadi permainan yang sangat populer saat ini. Baik pria maupun wanita di rentang usia berapa pun banyak yang menghabiskan waktu luangnya dengan bermain game.
Usia remaja disinyalir menjadi salah satu kelompok terbesar yang sangat mencintai permainan ini. Meski sudah banyak penelitian yang telah menjelaskan bahwa terlalu banyak bermain game bisa berdampak negatif, nampaknya hal itu tidak menjadi penghalang.
Baru-baru ini, sebuah artikel yang dipublikasi oleh Neurology Now dari American Academy of Neurology, menyebutkan bahwa bermain game secara berlebihan tidak hanya berdampak buruk pada perilaku remaja, tetapi juga otak remaja itu sendiri.
Perubahan yang terjadi pada otak akibat bermain game memang bisa sangat bermanfaat untuk masa depan. Walaupun demikian, bermain game dalam porsi yang berlebihan justru berdampak sebaliknya, yakni dapat merusak perkembangan otak.
Sebagian besar argumen yang ditulis Neurology Now adalah seputar Dopamin pada otak remaja. Perlu diketahui bahwa Dopamin adalah neurotransmiter yang membantu mengontrol pusat kepuasan dan kesenangan di otak. Dopamin juga membantu mengatur tindakan dan tanggapan emosional, sehingga memungkinkan kita untuk tidak hanya mengapresiasi penghargaan, tetapi juga mengambil tindakan untuk meraihnya.
Nah, peran game di sini adalah dapat mengaktifkan pusat kesenangan di otak dan merangsang emosi positif itu sendiri. Masalahnya adalah, game didesain untuk menargetkan pusat kesenangan ini, dan saat bermain game otak kemudian merespon dengan memproduksi Dopamin lebih sedikit dari kebutuhan.
Penelitian memperlihatkan hubungan yang kuat antara permainan video game dalam waktu yang eksesif dengan kurangnya jumlah dopamine di otak.
“Otak seolah mendapat pesan untuk memproduksi neurotransmiter penting ini dalam jumlah yang lebih sedikit. Hasil akhirnya, gamer bisa berakhir pada kekurangan pasokan Dopamin,” kata sang penulis, Amy Paturel.
Gaming juga disebut-sebut hanya menstimulasi daerah tertentu dari otak. “Sejak awal 1990-an, para ilmuwan memperingatkan bahwa video game hanya menstimulasi daerah otak yang mengontrol penglihatan dan gerakan. Bagian lain dari otak yang bertugas untuk mengatur perilaku, emosi, dan belajar menjadi terbelakang,” tambah Paturel.
Walaupun lebih banyak menjelaskan tentang dampak negatifnya, Paturel tetap mendukung semua manfaat yang mampu diberikan pada otak karena bermain game. Remaja yang gemar bermain game diklaim lebih siap menghadapi dunia kerja dan merespon segala perubahan di lingkungan kerjanya.
“Beberapa game juga mengharuskan pemain memikirkan strategi, melakukan beberapa tugas secara bersamaan, dan membuat keputusan. Hal ini mirip dengan kebutuhan multitasking pada pekerjaan-pekerjaan masa kini. Orang-orang mungkin lebih siap untuk beralih dari tugas ke tugas lainnya, beradaptasi dengan informasi baru, dan memodifikasi strategi mereka,” pungkasnya.
Pembahasan terkait dampak video game memang bukan hal baru dan menjadi topik yang kontroversial. Maret 2014 lalu, penelitian lain menemuka bahwa game yang menghadirkan kekerasan bisa meningkatkan agresivitas seseorang. Tak lama setelah itu, penilitian tersebut justru dikritik oleh beberapa profesor karena terlalu sensasional dan tidak didukung dengan data-data yang cukup.
Bagaimana menurut Anda? Apa manfaat dan dampak negatif pada perkembangan otak yang Anda rasakan setelah bertahun-tahun bermain game?